Apa Ya ?
Oleh Najilul Barokah
Ami berada di Jogja untuk menambah wawasannya dalam bidang fisika. Bukan tanpa alasan ia melanjutkan belajarnya di Jogja dengan mengambil konsentrasi Pendidikan Fisika. Karena ketika di bangku sekolah menegah atas ia mengambil ujian nasional untuk mata pelajaran jurusan adalah fisika. Dengan pertimbangan ia tidak menyukai Biologi karena banyak sekali teori yang harus dihafalkannya, lain dengan Kimia karena ia sering remidi ketika ulangan. Ia memiliki ketertarikan sendiri terhadap fisika entah apa itu seperti ada magnet dengan kekuatan besar yang menarik dirinya. Kemantapan hati dan fisika yang telah meracuni dirinya membuatnya amat yakin dengan pilihannya itu. Sempat ada kontra dengan orang tuanya ketika ia memilih fisika. Orang tuanya menginginkannya untuk mengambil Biologi dengan dalih ketika ia mengambil Biologi ia dapat merambah ke dunia medis. Tentu orang tuanya menginginkan dirinya menjadi seorang dokter. Melihat di desanya masih jarang sekali ada seorang dokter selain itu juga penghasilan dokter yang dibilang lumayan besar. Ami memiliki alasan yang kuat mengapa ia tidak bisa menuruti permintaan orang tuanya tersebut. Ia tidak mengerti dengan obat-obatan dan takut salah memberi obat pada pasien. Meskipun secara logika itu harus melalui proses belajar seperti halnya dengan menjadi seorang guru juga harus melalui proses belajar. Pertimbangan lain juga karena sedari dukuk di bangku sekolah dasar Ami memang memiliki cita-cita untuk menjadi seorang guru. Cita-cita yang sedari dulu berada dipikirannya, tak jarang selama bersekolah tentu ada beberapa saat ketika ia ingin menjadi yang lain.
Ia mendaftar dengan jalur nilai rapot. Ia direkomendasikan oleh guru BK-nya untuk mendaftar di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja. Ia pun menurut dengan apa yang diarahkan oleh gurunya. Tentu saja ia diterima di perguruan tinggi negeri di Jogja. Bertemulah dengan teman-teman satu program studinya dan saling mengenal. Beberapa waktu perkuliahan berjalan, ia merasa bahwa dirinya bodoh, malu dan payah. Melihat teman-temannya yang masuk perguruan tinggi negeri tersebut dengan jalur mandiri, dan teman-temannya lebih kritis dan pandai darinya. Ia iri dengan keadaan tersebut, mengagumi kepada teman-temannya yang berhasil masuk perguruan tinggi melalui tes. Dalihnya bahwa mereka diterima karena kemampuannya sendiri dan berhasil melewati tes yang kebanyakan orang menilainya sulit. Sebenarnya dirinya juga masuk perguruan tinggi negeri tersebut karena kemampuannya sendiri. Hanya saja ia berjuang sejak awal masuk sekolah menegah atas dengan belajar giat supaya nilainya rata-rata delapan puluh ke atas. Berbeda dengan mereka yang tidak mendapat undangan jalur SNMPTN, yaitu jalur yang menggunakan nilai rapot dari semester satu sampai semester lima. Beberapa kali ia mengatakan bahwa ia kagum dengan temannya yang masuk melalui jalur tes.
Temannya berasal dari bebrbagai daerah di seluruh Inonesia. Dengan berbagai macam karakter dan kebiasaan yang tak sama pula. Satu hal yang tidak bisa Ami hilangkan adalah berbicara dengan logat dan bahasa daerahnya yang sebagian besar orang pasti mendengarnya pasti akan tertawa. Namun Ami tetap menggunakannya meskipun kadang teman-temannya tak mengerti dengan apa yang ia katakan. Mengharuskannya berbicara berulang kali dalam bahasa Indonesia supaya teman-temannya mengerti. Tak jarang juga teman-temannya tetap mengerti apa yang ia katakan meskipun menggunakan bahasa ngapak. Sampai teman-temannya sering tertawa mendengannya mengoceh. Menurutnya itu adalah salah satu hal untuk dapat mengenalkan budaya daerahnya tersebut. Jelas pada akhirnya teman-temannya sangat dekat dengannya dan selalu membantunya ketika ia kesusahan.
Pernah suatu kali dalam presentasi mata kuliah Kewarganegaraan, ia sedang menjawab pertanyaan dari salah seorang temannya. Ia sudah mengetahui jawabannya dan mengatakannya ditengah forum. Ketika menjawab tiba-tiba ia kesulitan mengungkapan sesuatu tersebut, alhasil ia reflek dengan mengatakan “apa ya”. Seketika teman-temannya dan dosen tertawa, ia tak menyadari dan tak mengerti apa yang mereka tertawakan. Hal tersebut berulang kali ada sekitar lima kali. Sontak dosennya pun mengatakan “Kamu ini kalo jualan kacang rebus bakalan laku laris manis” sambil tertawa melihatnya. Ami hanya tersenyum malu dihadapan semua temakn kelasnya. Ketika ia selesai presentasi dan kembali ke tempat duduk barulah ia menanyakan pada salah satu temanya mengapa orang-orang tertawa dan menertawakan apa.
“Sur, tadi pada ngetawain apa sih?, tanya Ami penasaran tak ketulungan
“Kamu lho Mi, ngomong “apa ya” dengan logat ngapakmu jelas banget.”, Surti teman sekelasnya menjelaskan dengan penuh raut tawa
“Masa sih ? Kirain biasa aja wkwkw.”, ia menjawab dengan tawa herannya
Sejak itulah semua anak kelasnya selalu memanggilnya lalu mengatakan “apa ya?”. Dari sini Ami merasa bahwa budaya memang luar biasa sekali kekuatannya. Sebagai generasi muda jangan pernah malu dengan budaya kita. Sebaliknya kita harus bangga dan mengenalkan budaya kita kepada orang lain supaya lebih dikenal. Selain itu kita juga bisa saling bertukar pengetahuan mengenai budaya berbagai daerah.
Komentar
Posting Komentar